WANITA HAID BERDIAM DI MASJID

 SOAL :
Apakah kalau wanita haid sudah pakai pembalut, boleh berdiam di masjid?
Lalu apa batasan masjid? Apakah teras masjid termasuk masjid? (Ani, Yogya)

JAWAB :

1.Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid
            Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi SAW yang mengharamkannya.[1] Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid.[2] Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud).[3]

            Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[4]
            Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid.[5] Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘A`isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu‘A`isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim).[6] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah RA pernah berkata,”Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i).[7]  
            Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid.
            Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut.[8] Dalam Syarah Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[9]
            Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.”  Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.
            Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) --misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh :

Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliil at-taqyiid

“[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).” [10]

 2. Batasan Masjid
            Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum.[11] Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai shalat Jumat.  Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[12] Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum mesjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat sholat).[13]
Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.
Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon)  --bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)--  di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum.  Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum (HR. Bukhari).[14] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah.
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam [  ]  

Catatan :
1 wasaq = 130,560 kg gandum.[15]

Yogyakarta, 15 Januari 2004


[1] Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal.  17.
[2] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92.
[3] Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini hasan, Kifayatul Akhyar, I/80.
[4] Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80.
[5] Lihat As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 241, dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14.
[6] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44.
[7] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77.
[8] Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78.
[9] KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah : Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51.
[10] Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164.
[11] Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 416.
[12] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152.
[13] Ibid.
[14] Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319.
[15] Lihat Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 63; Abdurahman Asssl-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 92.

Cerpen


INILAH CINTA
Oleh : Sukahar Ahmad Syafi'i

Namanya Farah Amelia, gadis cantik asal kota Semen inilah yang membuatku sering melamun dan tak bisa tidur nyenyak, selalu terbayang wajahnya yang cantik dan senyumnya yang mempesona.
Memang tidak lama aku kenal dengannya, mungkin baru sekitar empat bulanan sejak dia masuk sekolah ini sebagai siswi baru, tapi mengapa setiap aku memandang wajahnya dan melihat senyumnya, hatiku merasa berdebar-debar bahkan akhir-akhir ini aku sering gugup jika berhadapan dengannya.
Sebenarnya ini tidak realistis,masa' baru kenal udah jatuh cinta, apa ini yang namanya cinta, ah aku juga tak tahu sebenarnya apa cinta itu. Oleh karena itu kali ini aku akan buktikan apa aku memang telah jatuh cinta kepadanya.
" Fik… fik.. Farah datang tuh" bisik Edi kepadaku
" Iya.. iya udah tahu aku" jawabku ketus
" yang rileks Sob, jangan tegang gitu" Edi komentar lagi sambil menepuk pundakku
" Rileks gundulmu, kayaknya aku nggak berani Ed"
"Walah, Preman kok nembak cewek nggak berani " ejek Edi padaku
" Bener Ed, untuk yang satu ini, aku bener-bener nggak berani, aku juga nggak tahu kenapa" kataku penuh keyakinan
" Yo wes  kalau begitu, bakal nyesel kowe Fik" Edi kembali lagi mengejekku seraya pergi meninggalkanku
" Woe… mau kemana kamu Ed" teriakku pada Edi
" Ke Kantin, laper neh"  jawab Edi singkat lalu menghilang di kerumunan para siswa yang sedang mengantri makanan di Kantin
            Lagi-lagi aku gagal untuk mengungkapkan perasaan cintaku padanya, entah kenapa aku harus takut, padahal di Sekolah ini aku terkenal Si Penggoda Wanita dan Si Tukang Jahil, masa' nembak cewek gitu aja takut. Kenapa ya..? bisikku dalam hati. Masih bingung memikirkan hal itu tiba-tiba Andi datang dengan tawa khasnya mengagetkanku
" Hahaha… Yah payah kon Fik, ngono wae takut, huh cemen" ejek Andi sambil meringis
" Ah, sialan kowe, teko-teko ngece" kataku sambil menjitak kepalanya
" Habis dari kemarin Cuma punya rencana mau nembak doank, mana bukti dan realisasinya” lagi-lagi Andi komentar disertai tawanya yang khas
" nggak tahu ah Ndi, pusing aku" jawabku sekenanya sambil berjalan meninggalkannya
*          *          *
" Anak-anakku semuanya, terutama kalian yang menduduki bangku kelas tiga, Ingat pesan Bapak ini. Jangan banyak bermain, bercanda dan mengerjakan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, Ujian Akhir sudah di depan mata, waktu kalian tidak banyak hanya tiga minggu terhitung mulai sekarang" Pidato Pak Anwar, Kepala sekolahku yang terlihat lebih tegas dari biasanya
" jangan sampai ada diantara siswa dari Sekolah ini tidak lulus Ujian Akhir Nasional, jika hal yang demikian itu terjadi, sungguh-sungguh memalukan"
" Tuh fik dengerin, mikir ujian fokus sama ujian donk, jangan mikir cewek melulu" Edi nyerocos nyindir aku sambil memonyong-monyongkan bibirnya
" Hussh, ojo berisik" kataku sambil meletakkan jari telunjukku pada bibir
            Aku berjalan lemas menuju kelas, pidato Pak Anwar kepala Sekolahku pada Apel mingguan tadi masih terngiang-ngiang dikepalaku, satu sisi aku harus mempersiapkan mental dan fisik untuk menghadapi ujian akhir, di sisi lain aku juga harus menyiapkan mental dan fisik untuk mengungkapkan  isi hatiku pada Farah. "Ya masalah ini harus aku selesaikan sebelum semuanya terlambat" lirihku dalam hati
            Tidak terasa waktu pun berjalan begitu cepat, Ujian AKhir Nasional (UAN) tinggal menghitung hari, dan hari ini aku mau semua hal yang membebani pikiranku tuntas sehingga pada hari H Ujian Akhir nanti aku bisa lebih tenang dan konsentrasi.
" Bagaimana kalau aku ditolak" tanyaku pada Andi
" itulah Resiko mencintai, Teman " jawab Andi enteng
"  Maksudnya" tanyaku nggak paham
" wah pangeran cinta, udah lupa sama filsafat cintanya sendiri, namanya suka, cinta pada seseorang itu punya dua konsekuensi Fik " Andi mulai menerangkan
" udah cepet jelasin" desakku tak sabar pada Andi
" konsekuensinya, bisa juga cinta kita diterima, bisa juga ditolak. Cinta itu kan tidak memaksa tapi memberi kebebasan Fik, yang terpenting adalah berani menyatakan Cinta itu" lanjut Andi
" Ya sudah kalau gitu, Do'akan ya Sob" Aku pergi meninggalkan Andi
" Oke, Moga sukses" Andi mengacungkan jari jempolnya padaku
*          *          *
            Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, Sekolah terlihat lengang dan sepi, mungkin karena semua siswa, guru dan para karyawan pada pulang ke Rumah masing-masing untuk istirahat siang setelah seharian mereka sibuk di Sekolah ini.
            Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku, karena hari inilah aku menerima jawaban cintaku dari Farah, Aku harus benar-benar mempersiapkan mental jika ternyata memang Farah menolakku. "Mudah-mudahan Farah segera datang memenuhi janjinya" bisikku dalam hati
" Mas Afik ya..?" Tanya Eva adik kelasku
" Iya betul" Jawabku singkat
" Ini Mas, ada titipan dari mbak Farah" kata Eva sambil memberikan sepucuk surat kepadaku
" lah Farahnya mana..? kok nggak ke sini..?" tanyaku penasaran
" Mbak Farahnya lagi kurang enak badan Mas, makanya aku disuruh ke sini" jawab Eva sambil tersenyum
" Ya sudah, thanks ya"
" Duh, bukan orangnya yang datang, eh malah Suratnya yang datang" gumamku jengkel
Perlahan-lahan dengan jantung berdebar-debar seakan-akan mau pecah, aku membuka sepucuk surat dari Farah
" Kalau engkau bersedia menungguku, aku pun tetap menunggumu sampai saatnya tiba nanti"
Plong hatiku rasanya setelah membaca surat dari singkat dari Farah, tidak sia-sia penantianku selama ini ternyata dia juga membalas cintaku, ingin rasanya kusampaikan pada pohon-pohon, rumput-rumput yang ada di sini bahwa " INILAH CINTA"